Pemberdayaan ekonomi masyarakat yaitu usaha menjadikan ekonomi masyarakat menjadi lebih kuat serta bernilai sehingga masyarakat dapat meningkatkan pendapatannya. Dalam menghadapi tantangan kesejahteraan masyarakat yang terus berkembang, zakat kembali menjadi salah satu instrumen paling strategis dalam menggerakkan ekonomi umat. Namun, zakat tidak akan pernah mencapai potensinya jika hanya dipahami sebatas ibadah tahunan atau kewajiban yang harus ditunaikan secara administratif. Kekuatan zakat baru benar-benar muncul ketika zakat dipahami melalui fikih zakat secara utuh yakni pemahaman mendalam tentang hukum, tujuan, dan mekanisme penyalurannya. Di sinilah peran besar fikih zakat bagi pemberdayaan ekonomi. Sebenarnya potensi zakat di Indonesia sangatlah besar karena mayoritas penduduknya beragama islam, namun berdasarkan data statistik penghimpunnan zakat masih jauh dari target. Oleh karena itu, menjadi tugas amil zakat dan bidang terkait yang menanganinya untuk terus memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya zakat bagi mereka yang sudah memenuhi kewajiban.
Zakat produktif adalah pengelolaan dana zakat untuk memberdayakan ekonomi fakir miskin, bukan sekadar memberi bantuan konsumtif, melainkan mengubahnya menjadi modal usaha melalui pelatihan keterampilan dan pendampingan, agar mustahik dapat mandiri secara ekonomi dan bahkan bisa menjadi muzakki di kemudian hari, menurut konsep Yusuf Qardhawi. Tujuannya adalah mengentaskan kemiskinan berkelanjutan dengan menciptakan penghasilan tetap bagi penerima zakat melalui pengembangan sumber daya dan usaha mereka. Konsep Zakat Produktif Menurut Yusuf Qardhawi Pemberdayaan Ekonomi: Fokus pada peningkatan kualitas SDM fakir miskin dengan pelatihan (skill) agar mereka punya kemampuan untuk mengembangkan diri. Modal usaha dari dana zakat dijadikan modal kerja untuk memulai atau mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM). Kemandirian untuk mengubah mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (pembayar zakat) melalui penghasilan yang berkelanjutan. Model pendistribusian dengan cara mengubah pola distribusi zakat dari konsumtif (sekadar memberi makan) menjadi produktif.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama nomor 16 tahun 2025 tentang pendayagunaan zakat untuk usaha produktif, maka ini memberikan peluang khususnya lembaga amil zakat untuk mensosialisasikan kepada para Muzaki akan pentingnya berzakat untuk pemberdayaan ekonomi Mustahik. Pendayagunaan zakat usaha produktif sebagai penanganan untuk fakir miskin dan peningkatan kualitas umat setelah terpenuhinya kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Pemberdayaan ekonomi produktif untuk fakir miskin paling sedikit dilakukan dalam bentuk pemberian modal usaha, fasilitasi sarana produksi, pengembangan jejaring usaha dan peningkatan kualitas produksi.
Salah satu bentuk pemberdayaan ekonomi melalui pemberian bantuan gerobak dan modal usaha. Mustahik diharapkan mampu memanfaatkan fasilitas yang telah diberikannya. Dengan bantuan gerobak dan modal usaha dapat mengubah dari tidak ada penghasilan menjadi memilikinya serta menghilangkan segala kesulitan ekonominya.
Fikih zakat memberikan arah agar zakat tidak salah sasaran. Banyak program pemberdayaan ekonomi gagal karena tidak memahami siapa yang secara syar’i berhak menerima zakat dan untuk apa zakat dapat digunakan. Fikih menentukan delapan asnaf penerima zakat sebagai kelompok-kelompok yang harus dijadikan prioritas. Tanpa dasar fikih, lembaga zakat atau masyarakat bisa terjebak pada praktik yang tidak tepat sasaran, bahkan melanggar ketentuan syariat. Pemahaman fikih menjamin bahwa bantuan modal produktif, pelatihan usaha, atau pembinaan UMKM benar-benar diberikan kepada orang-orang yang masuk kategori fakir atau miskin, bukan kepada mereka yang sekadar butuh dukungan bisnis.
Fikih zakat memperluas cara pandang bahwa zakat tidak selalu bersifat konsumtif. Selama ini, sebagian masyarakat menganggap zakat hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat seperti membagikan sembako, uang tunai, atau bantuan darurat. Padahal pemahaman fikih kontemporer yang berkembang di kalangan ulama menjelaskan bahwa zakat memiliki ruang yang sangat besar untuk investasi sosial modal usaha mustahik, pemberdayaan ekonomi, peningkatan kapasitas, hingga penguatan ekosistem usaha mikro. Program produktif semacam ini tidak hanya meringankan beban sehari-hari, tetapi menciptakan perubahan ekonomi. Di sinilah fikih zakat memberikan legitimasi kuat untuk inovasi pengelolaan zakat.
Memahami fikih zakat berarti memahami maqashid atau tujuan besar zakat. Tujuan itu bukan hanya membantu orang miskin tetap hidup, tetapi mengangkat mereka agar keluar dari kemiskinan. Zakat seharusnya membuat mustahik menjadi mandiri, bahkan berpotensi berbalik menjadi muzakki. Tanpa pemahaman fikih, tujuan ini sulit dicapai karena zakat akan dianggap sebagai bantuan sosial biasa, bukan instrumen pemberdayaan ekonomi yang strategis. Fikih zakat mengajarkan bahwa zakat adalah sarana pembersihan dan pengembangan: membersihkan harta muzakki, dan mengembangkan potensi ekonomi mustahik.
Fikih zakat menjadi dasar penting dalam membangun akuntabilitas dan profesionalitas lembaga amil zakat. Di era modern, kepercayaan publik adalah modal utama. Masyarakat akan menyalurkan zakat ketika yakin bahwa zakat dikelola sesuai dengan prinsip syariat. Pemahaman fikih zakat yang kuat membuat lembaga mampu menetapkan SOP yang tepat, memverifikasi penerima zakat dengan benar, dan melaksanakan program pemberdayaan yang tidak menyalahi hukum Islam. Tanpa pemahaman itu, lembaga dapat kehilangan kepercayaan dan menyulitkan misi pemberdayaan ekonomi.
Dalam konteks ekonomi nasional, fikih zakat adalah salah satu jalan menuju kemandirian umat. Indonesia memiliki jutaan muslim yang jika zakatnya terkumpul dengan benar dan disalurkan secara produktif, bisa menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa. Tetapi ini hanya bisa terjadi jika umat memahami fikih zakat baik muzakki, mustahik, maupun pengelolanya. Pemahaman fikih akan membuat pengumpulan lebih optimal, pendistribusian lebih tepat, dan pemberdayaan lebih kuat.
Memahami fikih zakat bukan semata-mata kewajiban keagamaan, tetapi kebutuhan strategis bagi pembangunan ekonomi masyarakat. Tanpa fikih zakat, pemberdayaan hanya akan menjadi slogan, dengan fikih zakat, pemberdayaan menjadi gerakan nyata yang mampu mengubah nasib banyak orang. Zakat bukan sekadar sedekah, ia adalah sistem ekonomi yang menuntut ilmu, pemahaman, dan pengelolaan yang benar. Dan hanya dengan pemahaman fikih zakat yang kokoh, zakat dapat kembali menjadi instrumen perubahan yang melahirkan kesejahteraan, kemandirian, dan keadilan sosial dalam kehidupan umat.
Warto
Mahasiswa Prodi Manajemen Zakat Dan Wakaf
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Jakarta

Comments are closed.