Mengapa Pemahaman Fikih Zakat Menentukan Kualitas Pengelolaan Zakat Nasional?

Zakat, sebagai rukun Islam ketiga, bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan pilar ekonomi umat yang memiliki potensi luar biasa untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan sosial. Di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, potensi zakat diestimasi mencapai angka triliunan rupiah. Sumber menyebutkan bahwa potensi zakat nasional sebesar 327 triliun per tahun, sungguh angka yang fantastis.

Namun, realisasi pengumpulan zakat nasional dari Lembaga- Lembaga resmi baru  41 Triliun di tahun 2024, menunjukkan adanya gap signifikan antara potensi dan realisasi. Salah satu kunci untuk menutup jurang ini, yang seringkali terabaikan, adalah kualitas pemahaman Fikih Zakat di semua lini, mulai dari masyarakat (muzaki), pengelola (amil), hingga regulator. Pemahaman fikih yang dangkal, kaku, atau justru terlalu liberal tanpa pijakan syariah yang kuat, terbukti menjadi akar masalah yang menggerus kepercayaan publik dan membatasi daya ungkit zakat.

Fikih sebagai Kompas, Bukan Sekadar Daftar Aturan

Fikih zakat adalah ilmu yang mengatur secara rinci tentang harta apa saja yang wajib dizakati, siapa yang wajib membayar (muzaki), batas minimal harta (nisab), jangka waktu kepemilikan (haul), serta siapa yang berhak menerima (mustahik) beserta kadarnya. Dalam konteks pengelolaan zakat modern, fikih harus berfungsi sebagai kompas yang dinamis, bukan sekadar daftar aturan baku yang statis.

Pemahaman fikih yang baik menjamin dua hal krusial: legalitas syariah dan efektivitas dampak.

  1. Legalitas Syariah (Aspek Pengumpulan): Muzaki akan patuh menunaikan zakat jika mereka yakin bahwa harta yang mereka keluarkan memenuhi syarat syar'i. Isu-isu zakat kontemporer seperti zakat profesi/penghasilan, zakat saham, zakat aset kripto, hingga zakat perusahaan memerlukan fatwa dan pemahaman fikih yang jelas dan disepakati. Keragaman pandangan (khilafiyah) harus dikelola oleh lembaga zakat agar menghasilkan pedoman yang dapat diterima, bukan menjadi alasan bagi muzaki untuk bingung atau enggan berzakat melalui lembaga resmi.
  2. Efektivitas Dampak (Aspek Pendistribusian): Kualitas pengelolaan zakat nasional sangat ditentukan oleh seberapa tepat dana zakat disalurkan. Prinsip dasar asnaf delapan (golongan penerima zakat) adalah landasan fikih yang mutlak. Namun, fikih kontemporer harus mampu menafsirkan asnaf tersebut dalam konteks kekinian. Misalnya, bagaimana menginterpretasikan Fisabilillah (di jalan Allah)? Apakah hanya terbatas pada perang, atau bisa meluas pada program pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi yang terencana dan sistemik untuk mengentaskan kemiskinan secara permanen?

pentingnya integrasi fikih klasik yang memberi arah, dan fikih kontemporer yang memberi langkah, demi memperkuat pengelolaan zakat nasional . Integrasi ini harusnya menghasilkan program yang tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi juga produktif, mampu meningkatkan kemandirian keluarga mustahik, dan menciptakan keberlanjutan usaha .

Ketika Fikih Gagal Merespons Realitas

Di lapangan, kita melihat beberapa kritik terhadap implementasi fikih zakat yang menghambat kualitas pengelolaan:

1. Keterlambatan Merespons Zakat Kontemporer

Salah satu isu terbesar adalah kesenjangan antara potensi zakat baru dari sektor ekonomi modern (penghasilan, digital, investasi) dan kecepatan lembaga fikih (seperti MUI) dalam mengeluarkan fatwa yang mengikat secara nasional. Banyak profesional dan pengusaha muda bingung tentang perhitungan nisab dan haul untuk pendapatan bulanan, bonus, atau investasi digital. Mereka akhirnya memilih mengeluarkan infak/sedekah yang aturannya lebih longgar, atau membayar zakat secara langsung kepada individu, alih-alih melalui lembaga resmi. Akibatnya, potensi zakat di sektor ini tidak terhimpun secara optimal. Seharusnya lembaga pengelola zakat dan otoritas fikih perlu membentuk tim khusus yang beroperasi secara agile (lincah) dan proaktif, bekerjasama dengan pakar ekonomi syariah dan teknologi, untuk segera merumuskan pedoman fikih yang mengakomodasi harta modern. Fatwa harus dipublikasikan dengan bahasa yang sangat mudah dipahami oleh kaum milenial dan Generasi Z yang menjadi mayoritas muzaki potensial saat ini.

2. Inkonsistensi Penafsiran Asnaf

Penafsiran yang kaku terhadap asnaf delapan terkadang membuat dana zakat sulit beradaptasi dengan kebutuhan darurat atau program pemberdayaan jangka panjang. Masih banyak amil di tingkat akar rumput yang fokus pada penyaluran konsumtif (beras, sembako) menjelang Idulfitri. Meskipun penting, pendekatan ini tidak memutus rantai kemiskinan. Kedepan Lembaga zakat harus berani menggeser fokus pendistribusian menjadi berbasis program pemberdayaan produktif dengan pijakan fikih yang kuat. Penafsiran ulang terhadap Al-Gharimin (orang yang berutang) misalnya, bisa diperluas untuk membantu mustahik melunasi utang produktif untuk modal usaha mikro, bukan sekadar utang konsumtif. Begitu juga Fisabilillah harus dioptimalkan untuk program pendampingan usaha, vokasi, dan inkubasi bisnis bagi mustahik, sebagai investasi sosial yang menghasilkan muzaki baru di masa depan.

Revitalisasi Fikih Zakat Nasional

Untuk memastikan pemahaman fikih zakat meningkatkan kualitas pengelolaan zakat nasional, perlu ada langkah konkret yang melibatkan semua pemangku kepentingan:

1. Standardisasi Kurikulum Fikih Zakat Bagi Amil

Amil (petugas pengelola zakat) adalah garda terdepan. Mereka harus memiliki sertifikasi dan pemahaman fikih yang mendalam, tidak hanya tentang administrasi, tetapi juga esensi syariah. Perlu ada Kurikulum Fikih Zakat Nasional Terstandardisasi yang wajib diikuti oleh seluruh Amil BAZNAS dan LAZ, dengan penekanan pada fikih kontemporer, manajemen risiko syariah, dan audit syariah.

2. Keterbukaan dan Akuntabilitas Fikih

Minimnya kepercayaan publik terhadap lembaga amil salah satu problem utama pengelolaan zakat sering berakar dari ketidakjelasan bagaimana dana zakat dialokasikan. Maka lembaga zakat wajib melakukan Audit Syariah Eksternal secara berkala dan mengumumkan laporan tersebut kepada publik, menunjukkan bahwa setiap rupiah zakat telah dihimpun dan disalurkan sesuai kaidah fikih.

3. Fikih Inklusif dan Edukasi Muzaki

Muzaki adalah subjek utama. Program edukasi zakat harus inovatif, menggunakan media digital, dan menghindari bahasa yang terlalu teknis. Edukasi harus menjelaskan secara lugas: Mengapa zakat penghasilan wajib? Bagaimana cara menghitungnya? mungkin lembaga zakat perlu menggandeng influencer atau tokoh Masyarakat/ ulama untuk menyebarluaskan pemahaman fikih zakat yang mudah dicerna, mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance) layaknya pajak. Peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat adalah tantangan utama yang harus diatasi dengan edukasi yang efektif.

Penutup

Kualitas pengelolaan zakat nasional tidak diukur semata-mata dari besaran angka yang terhimpun, tetapi dari seberapa besar dampak transformatifnya dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial. Pemahaman fikih zakat yang komprehensif, responsif, dan adaptif adalah prasyarat mutlak.

Dengan menempatkan fikih sebagai fondasi utama dan kompas dinamis, lembaga zakat dapat memulihkan kepercayaan publik, mengoptimalkan potensi triliunan rupiah, dan mengubah zakat dari sekadar ritual tahunan menjadi kekuatan ekonomi umat yang sistemik dan berkelanjutan. Saatnya para ulama, regulator, dan amil berkolaborasi untuk menyajikan wajah fikih zakat yang solutif bagi tantangan keumatan di era modern.

 

Oleh  : Abdullah

Mahasiswa Prodi Manajemen Zakat dan Wakaf

Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Comments are closed.